Primum Non Nocere; First, Do No Harm

0
9170

Primum non nocere. Suatu kalimat yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang di telinga saya. Kalimat ini berkali-kali diucapkan oleh guru saya ketika menimba ilmu neurointervensi setahun yang lalu. Kami murid-murid beliau mungkin bosan karena beliau mengatakan hal yang sama berulang-ulang. Tetapi hal ini menjadi semakin relevan ketika mulai bertugas di Indonesia.

Primum non nocere berasal dari bahasa latin, yang artinya First, do no harm. Tidak jelas asal muasal dari frasa ini. Versi awal dari sumpah Hipokrates memuat kalimat “to abstain from doing harm” yang memiliki arti yang sama dengan frasa diatas, walaupun kalimatnya tidak persis sama.

Primum non nocere juga diajarkan di Indonesia pada materi kuliah etika kedokteran, dan merupakan prinsip fundamental sebagai dokter. Secara umum frasa ini memiliki arti bahwa, dalam situasi tertentu mungkin lebih baik kita tidak melakukan tindakan apapun pada pasien. Kondisi ini dilakukan ketika tindakan yang kita lakukan justru dapat memberikan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang didapat oleh pasien.

Saya memiliki beberapa pengalaman mengenai hal ini selama saya fellow. Di University Hospital Zurich, sehari sebelum melakukan tindakan para neurointervensionis dan fellow akan berkumpul untuk membicarakan kasus yang akan dilakukan keesokan harinya. Pada sore ini, kasus yang didiskusikan adalah seorang wanita berumur 80an tahun.

Wanita ini masih nampak sehat, dapat berkomunikasi dengan baik dan jelas. Wanita ini dikonsulkan ke bagian neurointervensionis oleh sejawat neurologist karena gambaran MR angiografi yang menunjukkan aneurisma yang besar pada distal dari arteri basilaris. Selain besar, aneurisma ini juga tertutup sebagian oleh trombus.

Terjadi perdebatan yang cukup lama di ruangan pada sore itu. Guru saya berpendapat sebaiknya wanita ini tidak usah dilakukan tindakan neurointervensi, karena gejala yang dialami tidak terlalu berarti. Biarkan wanita ini hidup dengan aneurismanya dan diobservasi secara berkala. Neurointervensionis lain berpendapat, wanita ini harus segera dilakukan terapi karena sangat rentan untuk aneurisma ini pecah. Akhirnya diputuskan akan dilakukan pemasangan flow diverter keesokan harinya.

Prosedur pemasangan flow diverter keesokan harinya berjalan dengan lancar. Secara radiologis, gambar pemasangan pipa buatan ini nampak sempurna menutup aneurisma. Akan tetapi, hal akhir yang kita inginkan tentunya bukan kesempurnaan gambar imajing melainkan perbaikan dari klinis pasien. Sangat disayangkan, keesokan harinya saya mengetahui bahwa wanita ini meninggal. Tindakan yang kita inginkan untuk memberikan kebaikan ternyata malah memberikan dampak buruk yang lebih cepat kepada pasien.

Melanjutkan pada kasus berikutnya. Pada malam itu kami kedatangan pasien stroke akut. Pasien adalah laki-laki berumur 60 tahun. Pasien ini mengalami sumbatan mendadak pada arteri serebri media kanan beberapa jam sebelumnya. Pasien ini sudah dilakukan trombolisis, tetapi klinis tidak membaik sehingga diputuskan untuk melakukan prosedur trombektomi.

Pass (Baca: Percobaan) pertama trombektomi yang dilakukan menggunakan teknik aspirasi saja. Hasilnya? gagal. Kemudian diputuskan untuk menggunakan teknik aspirasi + stent retriever pada pass kedua. Pass kedua ini pun juga gagal. Percobaan ketiga masih menggunakan teknik aspirasi + stent retriever tetapi stent diletakkan lebih distal. Sayangnya pass ketiga ini pun tidak membuahkan hasil, nampak arteri serebri media tetap tersumbat bahkan tidak ada perbedaan sama sekali dibandingkan di awal.

Setelah pass ketiga ini, guru saya sebagai operator utama memutuskan untuk menghentikan operasi. Ada beberapa alasan dibalik keputusan beliau. Yang pertama, sudah cukup diketahui bahwa semakin banyak pass dan semakin lama prosedur yang kita lakukan, luaran klinis pasien cenderung akan lebih buruk. Hal ini dikarenakan setiap pass yang kita lakukan berpotensi mencederai dinding pembuluh darah, serta waktu yang semakin lama akan menyebabkan semakin banyak sel otak yang mengalami kematian.

Alasan yang kedua, bagian otak yang mengalami sumbatan adalah bagian otak kanan. Pada pasien yang dominan kinan, jika selamat maka pasien masih mampu untuk melakukan beberapa aktivitas dengan tangan kanannya nanti. Selain itu, fungsi berbahasa pasien juga kemungkinan akan terjaga dengan baik. Diharapkan dengan bantuan rehabilitasi, pasien setidaknya dapat melakukan aktivitas dasar dengan baik.

Memang benar apabila prosedur ini dilanjutkan, ada kemungkinan sumbatan pembuluh darah tersebut dapat kita ambil. Tetapi tidak kecil juga kemungkinan timbulnya perdarahan akibat pass yang kita paksakan berkali-kali pada pasien. Pada titik tersebut ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri, tindakan yang kita lakukan untuk memuaskan ego kita ataukah demi kebaikan pasien?

Kedua kasus diatas adalah segelintir contoh dari pengambilan keputusan yang akan sering kita hadapi sebagai seorang neurointervensionis. Pengambilan keputusan yang baik tentu sejalan dengan semakin banyaknya pengalaman dari neurointervensionis itu sendiri. Dan tentunya untuk dapat mencapai titik tersebut butuh proses dan waktu.

Menilik pesan lainnya dari senior saya di Indonesia, keputusan untuk tidak melakukan tindakan neurointervensi pada kasus-kasus tertentu itu pun sudah merupakan suatu intervensi. Jadi ketika mengambil keputusan nanti, saya akan berkaca dulu di depan cermin sambil bergumam ” Primum non nocere; First, do no harm”.